Nara sumber :
K.H. Hasyim Muzadi (Ketua PB NU)
KH. Abdul Hamid dan Pondok Pesantren Al Hikam, Malang
Disamping memiliki jabatan sebagai Ketua Umum PB NU, KH. Hasyim Muzadi adalah juga pimpinan pondok pesantren Al Hikam, Malang. Sebelum pondok pesantren Al Hikam berdiri, KH. Abdul Hamid pernah berkata kepada KH. Anwar, Bululawang, bahwa kelak suatu hari KH. Hasyim Muzadi akan membangun pondok pesantrennya di sebelah utara rumahnya. Kebenaran dari ucapan KH. Abdul Hamid tersebut sekarang terbukti, yaitu KH. Hasyim Muzadi akhirnya menjadi pimpinan pondok pesantren yang beliau bangun tepat disebelah utara rumahnya, hal ini persis seperti yang dikatakan oleh KH. Abdul Hamid kepada KH. Anwar, Bululawang. Padahal tanah yang saat ini menjadi lokasi pondok pesantren yang dipimpin oleh K.H Hasyim Muzadi pada awalnya adalah tanah milik orang lain
Sabtu, 23 Mei 2009
K.H. ABDUL HAMID PASURUAN (BAGIAN I)
Nara sumber/pemberi referensi : K.H. Idris Hamid (Putra K.H. Abdul Hamid, Pasuruan)
(Dari buku biografi K.H Abdul Hamidi)
Tahu sebelum dikasih tahu
Kiai Hamid di anugrahi mengetahui apa yang ada di benak orang Misykat misalnya, dia sering tertebak apa yang ada dibenaknya. "Beliau tahu apa maunya orang" katanya. "Saya kalau ada apa-apa belum bilang beliau sudah menjawab".
Hal yang sama dialami Gus Shobich Ubay, Ahmad Afandi, Syamsul Huda, Gus Hadi Ahmad, dll. Rata-rata mereka punya pengalaman, sebelum sempat mengadu, diberi jawaban terlebih dahulu.
Said Amdad Pasuruan, dulunya tidak percaya pada wali. Dia orang rasional.Mendengar kewalian Kiai Hamid yang tersohor kemana-mana, dia jadi penasaran. Suatu kali ia ingin mengetes, "Saya ingin diberi makan Kiai hamid. Coba dia tahu apa tidak" katanya dalam hati ketika pulang dari Surabaya. Setiba di Pasuruan dia langsung ke pondok Salafiyah pesantrennya Kiai Hamid.
Waktu itu pas mau jamaah sholat isya' usai sholat isya ia tidak langsung keluar, membaca wirid dulu. Sekitar pukul 20.30 WIB, jamaah sudah pulang semua. Lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan. Dia melangkah keluar, Dia melihat orang melambaikan tangan dari rumah Kiai Hamid. Dia pun menghampiri. Ternyata yang melambaikan tangan adalah tuan rumah alias Kiai Hamid. "Makan disini ya" kata beliau.
Diruang tengah hidangan sudah ditata. "Maaf ya, lauknya seadanya saja. Sampeyan tidak bilang dulu sih" kata Kiai Hamid dengan ramahnya. Said merasa di sindir, sejak itu dia percaya Kiai hamid adalah seorang wali.
Kambing Mau Datang, Kiai Hamid Tahu.
Kiai Hamid adalah seorang yang kasyaf. Berkat kasyaf-nya atau kemampuan clairvoyance ini, beliau bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Suatu kali Misykat di beri pisang oleh Kiai Hamid. "Ini makan, kulitnya kasihkan kambing" katanya. Padahal tidak ada kambing, ya kulitnya dia buang. Habis ashar dia dipanggil "Mana kulit pisangnya?" tanyanya. "Saya buang, Yai" jawabnya. "Lho, disuruh kasihkan kambing kambing tapi kok di buang" kata Kiai Hamid. Ternyata tidak lama kemudian ada orang mengantar kambing.
Pada kali yang lain misykat disuruh menyediakan lauk daging ayam. "Bilang sama Nyai, Yai ingin makan ayam" katanya. "Tidak ada daging ayam besok aja kita motong", kata Nyai. Lepas maghrib misykat dipanggil lagi. "Lihat diatas meja itu kan daging ayam" kata beliau. Ternyata betul diatas meja ada daging ayam yang baru saja diantar orang.
Tiba-tiba ada yang pulang.
Suatu malam beliau pergi ke Madura bersama keluarga dalam satu mobil. Beliau, Nyai Nafisah dan Gus Idris. Sampai di pelabuhan Tanjung Perak, ternyata sudah 15 mobil yang antri. Sementara kapal yang hendak mengangkut mereka belum datang, Kapal tersebut adalah kapal terakhir dalam jadwal hari itu. Padahal satu kapal hanya bisa memuat 15 mobil. Kiai Hamid menyuruh kang Said, sopir, tetap disitu. Eh, tahu-tahu mobil di depannya memutar balik, mungkin tak sabar menunggu atau apa.
Masih cerita Gus Idris, Mahfuzh Hafizh Surabaya mau pergi haji. Oleh Kiai Hamid ia dibekali 3 biji kurma. Disuruh menanam di Makkah. Sebelum berangkat, temannya di Jakarta yang juga mau berangkat ke Makkah, memaksa minta satu biji kurma tadi. Terpaksa diberikan. Di Makkah mahfuzh mendapat musibah, ayah dan adiknya meninggal dunia. Sedangkan dari rombongan temannya dari Jakarta tadi. Ada seorang yang wafat di tanah suci.
Asmawi Memanen Uang
Asmawi gundah gulana. Ia harus membayar hutang yang jatuh tempo. Jumlahnya Rp. 300.000,- jumlah itu sangat besar untuk ukuran waktu itu. Hutang itu buat pembangunan masjid.
Asmawi sempat menangis saking sedihnya. Darimana ia bisa memperoleh uang sebanyak itu? Pikirannya jadi buntu. Dia melapor ke Kiai Hamid. "Laopo nangis sik onok yai, (mengapa menangis masih ada kiai)" beliau menghibur. Lalu Kiai menyuruh menggoyang-goyangkan pohon kelengkeng di depan rumah beliau. Daun-daun yang berguguran disuruh ambil, diserahkan kepada Kiai Hamid. Beliau meletakan tangannya dibelakang tubuh, terus memasukannya ke saku. Begitu dikeluarkan ternyata daun-daun di tangannya berubah menjadi uang kertas. Beliau menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng satunya lagi. Daunnya diambil, terus tangan beliau dibawa kebelakang tubuh (punggung) lalu dimasukkkan ke saku dan daun-daunnya sudah menjadi uang kertas. Setelah dihitung ternyata jumlahnya Rp 225.000,- Alhamdulilah masih kurang Rp. 75.000,- Tiba-tiba ada tamu datang memberi Kia Hamid Rp. 75.000,- jadi pas.
Mengoperasi perut
Gus Zaki di serang penyakit maag yang parah. Serasa tak kuat, ia sampai menggelepar-gelepar. Semua anggota keluarga datang mendoakan. Kiai aqib, Nyai Nafisah hamid, Nyai Maryam Ahmad Sahal, Kiai Ahmad Sahal. Semua sudah menjenguk kecuali Kiai Hamid. Dokter Ham sudah dipanggil.
Karena sakitnya masih tak ketulungan, Guz Zaki menyuruh orang untuk memanggil dr. Ham lagi. "Buat apa? Suntik sudah, obat sudah, sekarang ya sabar aja" Kata dr. Ham. Dia tidak mau datang.
Sekitar pukul 23:30 WIB,Maimunah istrinya yang setia menunggu pergi ke dapur untuk merebus air. Sebab air dibotol sudah dingin (oh ya, untuk mengurangi rasa sakit, botol berisi air hangat tersebut ditempel di perut).
Ketika di tinggal sendirian itulah Gus Zaki dikejutkan oleh kedatangan Kiai Hamid yang begitu tiba-tiba di dalam kamar. Entah darimana masuknya beliau. Setelah mengubah posisi kursi dan bantal beliau memperhatikan telapak tangan itu seperti ada kabek-kabel. "Ini biar saya ganti saja ya, sudah lapuk" katanya, entah apa maksudnya lantas telapak tangan kanan itu ditempelkan ke perut Gus Zaki. Tiba-tiba ia merasakan perutnya enakan, hingga hilang rasa sakitnya. Di suruh duduk, eh ternyata tidak apa-apa. Padahal sebelumnya bergerak sedikit saja sudah sakit.
"Keburu ada orang ini biarkan saja Ki nanti nyambung sendiri." Kata beliau menunjuk perut Gas Zaki, sebelum bergeser pergi. Setelah di tinggal pergi barulah Gus Zaki merasakan kejanggalan. "Darimana masuknya beliau?"pikir dia. Apa betul itu Kiai Hamid, kok nggak ngasih uang? Sebab biasanya Kiai Hamid tidak pernah absen memberi uang".
Sejurus kemudian Ning Muna masuk kamar dia kaget melihat suaminya sudah bisa duduk. "Sampeyan ini bagaimana kok sudah bisa duduk" tegurnya. Dia lebih sewot lagi melihat posisi kursi dan bantal yang sudah tidak karuan "kalau jatuh bagaimana?" pikirnya. "Ini siapa yang mindah?" tanyanya.
Gus Zaki yang masih bengong tidak menggubris kata istrinya. "Coba kamu lihat pintu depan dan pintu belakang" katanya. Dengan penuh tanda tanya Ning Muna menurut.
"Semua terkunci, memangnya ada apa?" tanyanya begitu kembali. "Barusan ada Kiai Hamid" jawab Gus Zaki sambil menceritakan semua yang dialaminya.
Esoknya habis sholat subuh Kiai Hamid datang. "Bagaimana keadaanmu?" tanya beliau. "Alhamdulilah, sudah baik, iya tadi malam..." sampai disitu kata-katanya dipotong oleh Kiai Hamid."Sudah, sudah..." kata beliau sambil meletakan telunjuk tangannya di mulut. Beliau lalu memberi Gus Zaki uang Rp. 500,- lantas pergi lagi. Gus Zaki berpikir rupanya beliau membayar "utangnya" tadi malam.
(Dari buku biografi K.H Abdul Hamidi)
Tahu sebelum dikasih tahu
Kiai Hamid di anugrahi mengetahui apa yang ada di benak orang Misykat misalnya, dia sering tertebak apa yang ada dibenaknya. "Beliau tahu apa maunya orang" katanya. "Saya kalau ada apa-apa belum bilang beliau sudah menjawab".
Hal yang sama dialami Gus Shobich Ubay, Ahmad Afandi, Syamsul Huda, Gus Hadi Ahmad, dll. Rata-rata mereka punya pengalaman, sebelum sempat mengadu, diberi jawaban terlebih dahulu.
Said Amdad Pasuruan, dulunya tidak percaya pada wali. Dia orang rasional.Mendengar kewalian Kiai Hamid yang tersohor kemana-mana, dia jadi penasaran. Suatu kali ia ingin mengetes, "Saya ingin diberi makan Kiai hamid. Coba dia tahu apa tidak" katanya dalam hati ketika pulang dari Surabaya. Setiba di Pasuruan dia langsung ke pondok Salafiyah pesantrennya Kiai Hamid.
Waktu itu pas mau jamaah sholat isya' usai sholat isya ia tidak langsung keluar, membaca wirid dulu. Sekitar pukul 20.30 WIB, jamaah sudah pulang semua. Lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan. Dia melangkah keluar, Dia melihat orang melambaikan tangan dari rumah Kiai Hamid. Dia pun menghampiri. Ternyata yang melambaikan tangan adalah tuan rumah alias Kiai Hamid. "Makan disini ya" kata beliau.
Diruang tengah hidangan sudah ditata. "Maaf ya, lauknya seadanya saja. Sampeyan tidak bilang dulu sih" kata Kiai Hamid dengan ramahnya. Said merasa di sindir, sejak itu dia percaya Kiai hamid adalah seorang wali.
Kambing Mau Datang, Kiai Hamid Tahu.
Kiai Hamid adalah seorang yang kasyaf. Berkat kasyaf-nya atau kemampuan clairvoyance ini, beliau bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Suatu kali Misykat di beri pisang oleh Kiai Hamid. "Ini makan, kulitnya kasihkan kambing" katanya. Padahal tidak ada kambing, ya kulitnya dia buang. Habis ashar dia dipanggil "Mana kulit pisangnya?" tanyanya. "Saya buang, Yai" jawabnya. "Lho, disuruh kasihkan kambing kambing tapi kok di buang" kata Kiai Hamid. Ternyata tidak lama kemudian ada orang mengantar kambing.
Pada kali yang lain misykat disuruh menyediakan lauk daging ayam. "Bilang sama Nyai, Yai ingin makan ayam" katanya. "Tidak ada daging ayam besok aja kita motong", kata Nyai. Lepas maghrib misykat dipanggil lagi. "Lihat diatas meja itu kan daging ayam" kata beliau. Ternyata betul diatas meja ada daging ayam yang baru saja diantar orang.
Tiba-tiba ada yang pulang.
Suatu malam beliau pergi ke Madura bersama keluarga dalam satu mobil. Beliau, Nyai Nafisah dan Gus Idris. Sampai di pelabuhan Tanjung Perak, ternyata sudah 15 mobil yang antri. Sementara kapal yang hendak mengangkut mereka belum datang, Kapal tersebut adalah kapal terakhir dalam jadwal hari itu. Padahal satu kapal hanya bisa memuat 15 mobil. Kiai Hamid menyuruh kang Said, sopir, tetap disitu. Eh, tahu-tahu mobil di depannya memutar balik, mungkin tak sabar menunggu atau apa.
Masih cerita Gus Idris, Mahfuzh Hafizh Surabaya mau pergi haji. Oleh Kiai Hamid ia dibekali 3 biji kurma. Disuruh menanam di Makkah. Sebelum berangkat, temannya di Jakarta yang juga mau berangkat ke Makkah, memaksa minta satu biji kurma tadi. Terpaksa diberikan. Di Makkah mahfuzh mendapat musibah, ayah dan adiknya meninggal dunia. Sedangkan dari rombongan temannya dari Jakarta tadi. Ada seorang yang wafat di tanah suci.
Asmawi Memanen Uang
Asmawi gundah gulana. Ia harus membayar hutang yang jatuh tempo. Jumlahnya Rp. 300.000,- jumlah itu sangat besar untuk ukuran waktu itu. Hutang itu buat pembangunan masjid.
Asmawi sempat menangis saking sedihnya. Darimana ia bisa memperoleh uang sebanyak itu? Pikirannya jadi buntu. Dia melapor ke Kiai Hamid. "Laopo nangis sik onok yai, (mengapa menangis masih ada kiai)" beliau menghibur. Lalu Kiai menyuruh menggoyang-goyangkan pohon kelengkeng di depan rumah beliau. Daun-daun yang berguguran disuruh ambil, diserahkan kepada Kiai Hamid. Beliau meletakan tangannya dibelakang tubuh, terus memasukannya ke saku. Begitu dikeluarkan ternyata daun-daun di tangannya berubah menjadi uang kertas. Beliau menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng satunya lagi. Daunnya diambil, terus tangan beliau dibawa kebelakang tubuh (punggung) lalu dimasukkkan ke saku dan daun-daunnya sudah menjadi uang kertas. Setelah dihitung ternyata jumlahnya Rp 225.000,- Alhamdulilah masih kurang Rp. 75.000,- Tiba-tiba ada tamu datang memberi Kia Hamid Rp. 75.000,- jadi pas.
Mengoperasi perut
Gus Zaki di serang penyakit maag yang parah. Serasa tak kuat, ia sampai menggelepar-gelepar. Semua anggota keluarga datang mendoakan. Kiai aqib, Nyai Nafisah hamid, Nyai Maryam Ahmad Sahal, Kiai Ahmad Sahal. Semua sudah menjenguk kecuali Kiai Hamid. Dokter Ham sudah dipanggil.
Karena sakitnya masih tak ketulungan, Guz Zaki menyuruh orang untuk memanggil dr. Ham lagi. "Buat apa? Suntik sudah, obat sudah, sekarang ya sabar aja" Kata dr. Ham. Dia tidak mau datang.
Sekitar pukul 23:30 WIB,Maimunah istrinya yang setia menunggu pergi ke dapur untuk merebus air. Sebab air dibotol sudah dingin (oh ya, untuk mengurangi rasa sakit, botol berisi air hangat tersebut ditempel di perut).
Ketika di tinggal sendirian itulah Gus Zaki dikejutkan oleh kedatangan Kiai Hamid yang begitu tiba-tiba di dalam kamar. Entah darimana masuknya beliau. Setelah mengubah posisi kursi dan bantal beliau memperhatikan telapak tangan itu seperti ada kabek-kabel. "Ini biar saya ganti saja ya, sudah lapuk" katanya, entah apa maksudnya lantas telapak tangan kanan itu ditempelkan ke perut Gus Zaki. Tiba-tiba ia merasakan perutnya enakan, hingga hilang rasa sakitnya. Di suruh duduk, eh ternyata tidak apa-apa. Padahal sebelumnya bergerak sedikit saja sudah sakit.
"Keburu ada orang ini biarkan saja Ki nanti nyambung sendiri." Kata beliau menunjuk perut Gas Zaki, sebelum bergeser pergi. Setelah di tinggal pergi barulah Gus Zaki merasakan kejanggalan. "Darimana masuknya beliau?"pikir dia. Apa betul itu Kiai Hamid, kok nggak ngasih uang? Sebab biasanya Kiai Hamid tidak pernah absen memberi uang".
Sejurus kemudian Ning Muna masuk kamar dia kaget melihat suaminya sudah bisa duduk. "Sampeyan ini bagaimana kok sudah bisa duduk" tegurnya. Dia lebih sewot lagi melihat posisi kursi dan bantal yang sudah tidak karuan "kalau jatuh bagaimana?" pikirnya. "Ini siapa yang mindah?" tanyanya.
Gus Zaki yang masih bengong tidak menggubris kata istrinya. "Coba kamu lihat pintu depan dan pintu belakang" katanya. Dengan penuh tanda tanya Ning Muna menurut.
"Semua terkunci, memangnya ada apa?" tanyanya begitu kembali. "Barusan ada Kiai Hamid" jawab Gus Zaki sambil menceritakan semua yang dialaminya.
Esoknya habis sholat subuh Kiai Hamid datang. "Bagaimana keadaanmu?" tanya beliau. "Alhamdulilah, sudah baik, iya tadi malam..." sampai disitu kata-katanya dipotong oleh Kiai Hamid."Sudah, sudah..." kata beliau sambil meletakan telunjuk tangannya di mulut. Beliau lalu memberi Gus Zaki uang Rp. 500,- lantas pergi lagi. Gus Zaki berpikir rupanya beliau membayar "utangnya" tadi malam.
KH. RUHIAT, CIPASUNG, TASIKMALAYA
Nara Sumber : KH. Dudung (Putra KH. Ruhiat)
Ditembak Belanda
KH. Ruhiat adalah salah seorang tokoh Islam yang ikut berjuang mengusir penjajah dari Bangsa Indonesia. Beliau termasuk penggerak perlawanan rakyat melawan Belanda di daerah Jawa Barat, khususnya di Tasikmalaya. Pada suatu hari Belanda datang ke pondok pesantren tempat tinggal beliau. Pada saat itu KH. Ruhiat sedang mengimami sholat di masjid pondok pesantrennya. Tiba-tiba Belanda yang sangat membenci para pejuang kemerdekaan melepaskan tembakan kearah KH. Ruhiat. Allah mentakdirkan bahwa yang terkena oleh tembakan sampai meninggal dunia adalah santri sedangkan beliau selamat.
Didatangi oleh gerombolan
Peristiwa ini terjadi setelah masa penjajahan. Pada suatu hari sekelompok orang yang tidak dikenal mendatangi pondok pesantren KH. Ruhiat. Gerombolan tersebut langsung menuju tempat kediaman beliau. Dari cara-cara mereka bertamu, jelaslah bahwa gerombolan itu bermaksud tidak baik. Dengan cara yang tidak sopan mereka memaksa KH. Ruhiat untuk mengikuti mereka. Saat itu , KH. Ruhiat membaca keadaan dan tidak menuruti permintaan orang-orang yang tidak dikenal itu. Karena merasa kesal permintaan mereka tak dituruti , akhirnya para gerombolan itu masuk menerobod masuk ke kamar KH. Ruhiat . Kemudian mereka beramai-ramai mengangkat KH. Ruhiat dengan maksud mengambil KH. Ruhiat secara paksa. Akan tetapi gerombolan itu , meskipun jumlah mereka banyak, mereka tetap tidak mampu mengangkat tubuh KH. Ruhiat yang sedang terbaring ditempat tidur. Melihat kejadian luar biasa itu , para gerombolan memutuskan untuk meninggalkan pondok pesantren KH. Ruhiat. Mereka tidak berhasil menculik KH. Ruhiat karena ketidak mampuan mereka mengangkat tubuh beliau.
Ditembak Belanda
KH. Ruhiat adalah salah seorang tokoh Islam yang ikut berjuang mengusir penjajah dari Bangsa Indonesia. Beliau termasuk penggerak perlawanan rakyat melawan Belanda di daerah Jawa Barat, khususnya di Tasikmalaya. Pada suatu hari Belanda datang ke pondok pesantren tempat tinggal beliau. Pada saat itu KH. Ruhiat sedang mengimami sholat di masjid pondok pesantrennya. Tiba-tiba Belanda yang sangat membenci para pejuang kemerdekaan melepaskan tembakan kearah KH. Ruhiat. Allah mentakdirkan bahwa yang terkena oleh tembakan sampai meninggal dunia adalah santri sedangkan beliau selamat.
Didatangi oleh gerombolan
Peristiwa ini terjadi setelah masa penjajahan. Pada suatu hari sekelompok orang yang tidak dikenal mendatangi pondok pesantren KH. Ruhiat. Gerombolan tersebut langsung menuju tempat kediaman beliau. Dari cara-cara mereka bertamu, jelaslah bahwa gerombolan itu bermaksud tidak baik. Dengan cara yang tidak sopan mereka memaksa KH. Ruhiat untuk mengikuti mereka. Saat itu , KH. Ruhiat membaca keadaan dan tidak menuruti permintaan orang-orang yang tidak dikenal itu. Karena merasa kesal permintaan mereka tak dituruti , akhirnya para gerombolan itu masuk menerobod masuk ke kamar KH. Ruhiat . Kemudian mereka beramai-ramai mengangkat KH. Ruhiat dengan maksud mengambil KH. Ruhiat secara paksa. Akan tetapi gerombolan itu , meskipun jumlah mereka banyak, mereka tetap tidak mampu mengangkat tubuh KH. Ruhiat yang sedang terbaring ditempat tidur. Melihat kejadian luar biasa itu , para gerombolan memutuskan untuk meninggalkan pondok pesantren KH. Ruhiat. Mereka tidak berhasil menculik KH. Ruhiat karena ketidak mampuan mereka mengangkat tubuh beliau.
KH. M. MOENAUWIR YOGYAKARTA
Narasumber :
Dewan Pengurus Pondok Pesantern Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta
(Dari buku "Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta)
Dalam menuntut ilmu agama, K.H. M. Moenawwir tidak hanya sekedar mempelajari ilmu Al Qur'an dan menghafalnya saja. Akan tetapi, beliau juga telah mempelajari ilmu-ilmu lain dari para kiai terkemuka saat itu diantaranya : K.H. Abdullah (Kanggotaan, Bantul), K.H. Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura), K.H. Sholih (Ndarat, Semarang), K.H. Abdur Rahman (Watucongol, Muntilan, Magelang).
Setelah belajar kepada ulama-ulama tersebut di atas, pada tahun 1888 M. K.H. M. Moenauwir meneruskan belajar di Arab Saudi tanah suci Makkah Al Mukarramah dan Madinah Al Munawwarah. Di kedua kota ini, M. Moenauwir menetap dan belajar kurang lebih selama 21 tahun. Selama 16 tahun di Makkah K.H. M. Moenauwir hanya mengkhususkan belajar pada bidang Al Qur'an dan cabang-cabangnya, baik tahfidz, Tafsir dan Qiro'ah Sab'ah. Diantara para guru beliau adalah : Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Syarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi. Syaikh Mansyur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.
Selain berhasil menghafal Al-Qur'an dengan lancar (lanyah), K.H.M Moenauwir juga berhasil menghafalkan Al Qur'an dengan Qiro'ah Sab'ah (bacaan tujuh), sehingga beliau berhak memperoleh sanad mutawatir yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW, yang sangat langka diperoleh / disandang oleh seseorang karena tingkat kesulitannya yang sangat besar dan hanya orang-orang yang punya kelebihan saja yang dapat mencapainya.
Adapun guru beliau dalam qira'ah sab'ah adalah Syaikh Yusuf hajar yang sanadnya dapat diketahui dengan lengkap sebagaimana berikut ini :
K.H. M. Moenauwir dengan qira'ah Imam "Ashim menurut riwayat Imam Hafsh, mengambil dari Syaikh Abd. Karim bin II. Umar Al Badri Ad Dimyathi dari Syaikh Ahmad Ar Rosyidi dari Syaikh Mustofa bin Abdur Rahman Al Azmiri dari Syaikh Hijaziy dari Syaikh Aly bin Sulaiman Al-Masyhury, dari Syaikh Sultan Al Muzany, dari Syaikh Saifuddin bin 'Athoillah Al Fadholy. Dari Syaikh Tahazah Al Yamani dari Syaikh Namiruddin Athtoblawiy, dari Syaikh Zakariyah Al Anshory, dari Syaikh Ahmad As Suyuthy, dari Syaikh Muhammad Ibnu Jazariy dari al Imam Abi Abdullah Muhammad bin Kholiq al Mushriy Asy Syafi'iy dari Imam Abil Hasan Aii Asy Syuja bin Salam bin Ali bin Musa Al Abbasi AL Mishry dari Imam Abi Qosim Asy Syatibi dari Imam Abil Hasan bin Huzail dan Al Hafidz Abi 'Amr Ad Damy dari Abil Hasan Thohin dari Syaikh Abil Abbas Al Asynamy dari Ubaid Ibnu Shobbagh, dari Al Imam Hafsh dari Al Imam 'Ashim dan Abdur Rahman As Salma, dari :
a) Utsman bin affan
b) 'Ubay bin Ka'ab
c) Zaid bin Tsabit
d) Ali bin Abi Thalib
Keempat-empatnya mengambil bacaan langsung dari Rasul SAW dari Allah SWT, dengan perantaraan malaikat Jibril A.S
Dari semua sanad-sanad tersebut di atas, K.H.M Moenauwir sangat hafal jika menyebutkan satu persatu hingga sampai kepada Rasulullah. Demikian itu adalah salah satu keistimewaan yang tiada lain semata-mata karunia Allah SWT. Selain hafal sanad, beliau juga berhasil menekuni dalam menghafal berturut-turut sebagai berikut :
Selama 3 tahun : setiap 7 hari 7 malam menghatamkan 1 kali
Selama 3 tahun : setiap 3 hari 3 malam mengahtamkan 1 kali
Selama 3 tahun : setiap 1 hari 1 malam menghatamkan 1 kali
Terakhir berriyadlah selama 40 hari membaca Al Qu'an tanpa henti.
Hal tersebut dilakukan oleh K.H.M. Moenauwir semata-mata untuk menguji tingkat keberhasilan (kelanyahannya) dalam menghafal Al Qur'an yang tidak semua orang bisa melakukan riyadhah seperti ini. Semua keberhasilan beliau tersebut tidak lepas dari usaha dan do'a para ulama, para wali dan juga kedua orang tuanya serta kakeknya. Sebagaimana dikisahkan, suatu waktu ketika sedang melaksanakan perjalanan dari Makkah menuju Madinah beliau berjumpa dengan seseorang yang sudah tua renta yang tidak di kenal dan mengajaknya berjabat tangan. Ketika itu beliau minta di do'akan agar menjadi orang yang benar-benar hafidzul Qur'an lalu dijawab oleh orang tua itu : "Insyaallah". Menurut K.H. Ar wani (Alm) bahwa orang yang mengajak jabat tangan tersebut adalah Nabi Khidzir AS.
Dewan Pengurus Pondok Pesantern Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta
(Dari buku "Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta)
Dalam menuntut ilmu agama, K.H. M. Moenawwir tidak hanya sekedar mempelajari ilmu Al Qur'an dan menghafalnya saja. Akan tetapi, beliau juga telah mempelajari ilmu-ilmu lain dari para kiai terkemuka saat itu diantaranya : K.H. Abdullah (Kanggotaan, Bantul), K.H. Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura), K.H. Sholih (Ndarat, Semarang), K.H. Abdur Rahman (Watucongol, Muntilan, Magelang).
Setelah belajar kepada ulama-ulama tersebut di atas, pada tahun 1888 M. K.H. M. Moenauwir meneruskan belajar di Arab Saudi tanah suci Makkah Al Mukarramah dan Madinah Al Munawwarah. Di kedua kota ini, M. Moenauwir menetap dan belajar kurang lebih selama 21 tahun. Selama 16 tahun di Makkah K.H. M. Moenauwir hanya mengkhususkan belajar pada bidang Al Qur'an dan cabang-cabangnya, baik tahfidz, Tafsir dan Qiro'ah Sab'ah. Diantara para guru beliau adalah : Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Syarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi. Syaikh Mansyur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.
Selain berhasil menghafal Al-Qur'an dengan lancar (lanyah), K.H.M Moenauwir juga berhasil menghafalkan Al Qur'an dengan Qiro'ah Sab'ah (bacaan tujuh), sehingga beliau berhak memperoleh sanad mutawatir yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW, yang sangat langka diperoleh / disandang oleh seseorang karena tingkat kesulitannya yang sangat besar dan hanya orang-orang yang punya kelebihan saja yang dapat mencapainya.
Adapun guru beliau dalam qira'ah sab'ah adalah Syaikh Yusuf hajar yang sanadnya dapat diketahui dengan lengkap sebagaimana berikut ini :
K.H. M. Moenauwir dengan qira'ah Imam "Ashim menurut riwayat Imam Hafsh, mengambil dari Syaikh Abd. Karim bin II. Umar Al Badri Ad Dimyathi dari Syaikh Ahmad Ar Rosyidi dari Syaikh Mustofa bin Abdur Rahman Al Azmiri dari Syaikh Hijaziy dari Syaikh Aly bin Sulaiman Al-Masyhury, dari Syaikh Sultan Al Muzany, dari Syaikh Saifuddin bin 'Athoillah Al Fadholy. Dari Syaikh Tahazah Al Yamani dari Syaikh Namiruddin Athtoblawiy, dari Syaikh Zakariyah Al Anshory, dari Syaikh Ahmad As Suyuthy, dari Syaikh Muhammad Ibnu Jazariy dari al Imam Abi Abdullah Muhammad bin Kholiq al Mushriy Asy Syafi'iy dari Imam Abil Hasan Aii Asy Syuja bin Salam bin Ali bin Musa Al Abbasi AL Mishry dari Imam Abi Qosim Asy Syatibi dari Imam Abil Hasan bin Huzail dan Al Hafidz Abi 'Amr Ad Damy dari Abil Hasan Thohin dari Syaikh Abil Abbas Al Asynamy dari Ubaid Ibnu Shobbagh, dari Al Imam Hafsh dari Al Imam 'Ashim dan Abdur Rahman As Salma, dari :
a) Utsman bin affan
b) 'Ubay bin Ka'ab
c) Zaid bin Tsabit
d) Ali bin Abi Thalib
Keempat-empatnya mengambil bacaan langsung dari Rasul SAW dari Allah SWT, dengan perantaraan malaikat Jibril A.S
Dari semua sanad-sanad tersebut di atas, K.H.M Moenauwir sangat hafal jika menyebutkan satu persatu hingga sampai kepada Rasulullah. Demikian itu adalah salah satu keistimewaan yang tiada lain semata-mata karunia Allah SWT. Selain hafal sanad, beliau juga berhasil menekuni dalam menghafal berturut-turut sebagai berikut :
Selama 3 tahun : setiap 7 hari 7 malam menghatamkan 1 kali
Selama 3 tahun : setiap 3 hari 3 malam mengahtamkan 1 kali
Selama 3 tahun : setiap 1 hari 1 malam menghatamkan 1 kali
Terakhir berriyadlah selama 40 hari membaca Al Qu'an tanpa henti.
Hal tersebut dilakukan oleh K.H.M. Moenauwir semata-mata untuk menguji tingkat keberhasilan (kelanyahannya) dalam menghafal Al Qur'an yang tidak semua orang bisa melakukan riyadhah seperti ini. Semua keberhasilan beliau tersebut tidak lepas dari usaha dan do'a para ulama, para wali dan juga kedua orang tuanya serta kakeknya. Sebagaimana dikisahkan, suatu waktu ketika sedang melaksanakan perjalanan dari Makkah menuju Madinah beliau berjumpa dengan seseorang yang sudah tua renta yang tidak di kenal dan mengajaknya berjabat tangan. Ketika itu beliau minta di do'akan agar menjadi orang yang benar-benar hafidzul Qur'an lalu dijawab oleh orang tua itu : "Insyaallah". Menurut K.H. Ar wani (Alm) bahwa orang yang mengajak jabat tangan tersebut adalah Nabi Khidzir AS.
KYAI RADEN SUMOMIHARDJO, KYAI PARAK BAMBU RUNCING, PARAKAN, TEMANGGUNG
Narasumber:
KH. Raden Muhaeminan Gunardho
(Ulama Sepuh, Jawa Tengah, Pimpinan Pondok Pesantren Kyai Parak, Bambu Runcing, Parakan, Jawa Tengah)
Pada saat penjajah Belanda yang dibantu oleh sekutu ingin kembali menjajah Indonesia, Bupati Temanggung yang bernama Sutikno mengumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat. Dihadapan para ulama dan tokoh masyarakat tersebut, beliau berkata bahwa tidak lama lagi Belanda akan kembali untuk menjajah Indonesia karena Jepang telah kalah perang melawan sekutu. Bupati Sutikno berharap kepada para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir agar dapat memberikan jalan keluar terbaik, yaitu apakah Belanda akan mereka terima kembali sebagai bangsa penjajah ataukah Belanda akan dilawan begitu mereka masuk ke Bumi Temanggung. Bupati Sutikno mengingatkan para hadirin dihadapannya bahwa jika misalnya mereka sepakat untuk melawan Belanda, apakah mereka benar-benar sudah memperhitungkan dengan seksama kekuatan yang mereka miliki karena Belanda mempunyai senjata perang dan bom sedang mereka tidak mempunyai persenjataan sama sekali.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Bupati Sutikno tersebut, para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir, tidak ada yang berani angkat bicara, apalagi mau mengajukan usul, sampai akhirnya ditengah kesunyian yang mencekam peserta musyawarah ketika itu, ada seseorang yang mengangkat tangan guna memohon waktu untuk menyampaikan buah pikirannya, dan peserta tersebut adalah dari kalangan ulama, beliau bernama Kyai Raden Sumomihardho. Setelah beliau dipersilakan untuk menyampaikan pendapatnya Kyai Raden Sumomihardho, berkata : " Menurut hemat saya, sebaiknya Belanda kita lawan begitu mereka tiba di bumi Temanggung". Mendengar pendapat beliau yang sangat berani tersebut suasana pertemuan ketika itu menjadi tambah mencekam bagi sebagian besar peserta yang hadir karena mereka membayangkan sebuah resiko yang sangat berat pasti akan mereka tanggung jika mereka berani melawan penjajah yang memiliki tentara dengan persenjataan yang lengkap. Kyai Raden Sumomihardho dapat membaca suasana pertemuan yang semakin mencekam tersebut, tetapi beliau sedikitpun tidak berubah pikiran, tetapi malah sebaliknya beliau manambahkan : "Kita tidak rela diperbudak lagi oleh bangsa penjajah, dan adapun mengenai perkara hidup dan mati semuanya terjadi atas kehendak Allah". Beliau melanjutkan : "Masalah hidup dan mati itu semua adalah urusan Allah, dan kita memang tidak mempunyai persenjataan seperti yang dimiliki bangsa penjajah, tapi kita punya Allah". Dan mendengarkan alasan yang masuk akal yang disampaikan oleh Kyai Raden Sumomihardho, akhirnya semua ulama dan tokoh masyarakat yang hadir ketika itu menyetujui pendapat beliau. Setelah acara ditutup, para pemuda pejuang datang ke pondok pesantren beliau dan kepada para pemuda pejuang tersebut, Kyai Raden Sumomihardho memberikan mereka senjata berupa Bambu Runcing yang sudah diberi asma'. Bambu Runcing yang sudah diberi asma' oleh beliau tersebut memiliki beberapa kelebihan. Diantaranya : siapa saja yang memegang bambu runcing itu dia tidak memiliki rasa takut terhadap musuh (tentara penjajah), musuh yang melihat bambu runcing tersebut menjadi kehilangan akal, jika bambu runcing yang telah diberi asma' itu dipegang, ia akan mengeluarkan api. Dan jika ada laki-laki yang melangkahi bambu runcing tersebut, kelaminnya menjadi membesar, dan pernah suatu ketika di daerah Boyolali, bambu runcing tersebut dilempar ditumpukkan pring (bambu biasa), dan pring tersebut terbakar.
Selain memberikan bambu runcing yang sudah di asma', Kyai Raden Sumomihardho juga memberikan senjata berupa ketapel kepada para pemuda pejuang. Batu kerikil yang akan digunakan terlebih dahulu diberi asma' dan setiap batu kerikil yang telah diberi asma'. Jika batu tersebut dipakaikan diketapel dan digunakan untuk menyerang musuh, maka musuh yang terkena oleh batu kerikil itu akan mati. Senjata terakhir yang diberikan kepada pemuda pejuang adalah berupa sujen (sejenis tusuk sate). Setelah sujen tersebut diberi asma', maka jika sujen itu ditanam pihak musuh tidak akan bisa melewati daerah tersebut. Jika sujen itu dilangkahi tikus, tikus itu bisa mati. Kyai Raden Sumomihardho adalah teman seperjuangan dari Cokro Aminorto dan beliau juga masih keluarga dari Bupati Magelang dan merupakan keturunan Wali Songo.
KH. Raden Muhaeminan Gunardho
(Ulama Sepuh, Jawa Tengah, Pimpinan Pondok Pesantren Kyai Parak, Bambu Runcing, Parakan, Jawa Tengah)
Pada saat penjajah Belanda yang dibantu oleh sekutu ingin kembali menjajah Indonesia, Bupati Temanggung yang bernama Sutikno mengumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat. Dihadapan para ulama dan tokoh masyarakat tersebut, beliau berkata bahwa tidak lama lagi Belanda akan kembali untuk menjajah Indonesia karena Jepang telah kalah perang melawan sekutu. Bupati Sutikno berharap kepada para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir agar dapat memberikan jalan keluar terbaik, yaitu apakah Belanda akan mereka terima kembali sebagai bangsa penjajah ataukah Belanda akan dilawan begitu mereka masuk ke Bumi Temanggung. Bupati Sutikno mengingatkan para hadirin dihadapannya bahwa jika misalnya mereka sepakat untuk melawan Belanda, apakah mereka benar-benar sudah memperhitungkan dengan seksama kekuatan yang mereka miliki karena Belanda mempunyai senjata perang dan bom sedang mereka tidak mempunyai persenjataan sama sekali.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Bupati Sutikno tersebut, para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir, tidak ada yang berani angkat bicara, apalagi mau mengajukan usul, sampai akhirnya ditengah kesunyian yang mencekam peserta musyawarah ketika itu, ada seseorang yang mengangkat tangan guna memohon waktu untuk menyampaikan buah pikirannya, dan peserta tersebut adalah dari kalangan ulama, beliau bernama Kyai Raden Sumomihardho. Setelah beliau dipersilakan untuk menyampaikan pendapatnya Kyai Raden Sumomihardho, berkata : " Menurut hemat saya, sebaiknya Belanda kita lawan begitu mereka tiba di bumi Temanggung". Mendengar pendapat beliau yang sangat berani tersebut suasana pertemuan ketika itu menjadi tambah mencekam bagi sebagian besar peserta yang hadir karena mereka membayangkan sebuah resiko yang sangat berat pasti akan mereka tanggung jika mereka berani melawan penjajah yang memiliki tentara dengan persenjataan yang lengkap. Kyai Raden Sumomihardho dapat membaca suasana pertemuan yang semakin mencekam tersebut, tetapi beliau sedikitpun tidak berubah pikiran, tetapi malah sebaliknya beliau manambahkan : "Kita tidak rela diperbudak lagi oleh bangsa penjajah, dan adapun mengenai perkara hidup dan mati semuanya terjadi atas kehendak Allah". Beliau melanjutkan : "Masalah hidup dan mati itu semua adalah urusan Allah, dan kita memang tidak mempunyai persenjataan seperti yang dimiliki bangsa penjajah, tapi kita punya Allah". Dan mendengarkan alasan yang masuk akal yang disampaikan oleh Kyai Raden Sumomihardho, akhirnya semua ulama dan tokoh masyarakat yang hadir ketika itu menyetujui pendapat beliau. Setelah acara ditutup, para pemuda pejuang datang ke pondok pesantren beliau dan kepada para pemuda pejuang tersebut, Kyai Raden Sumomihardho memberikan mereka senjata berupa Bambu Runcing yang sudah diberi asma'. Bambu Runcing yang sudah diberi asma' oleh beliau tersebut memiliki beberapa kelebihan. Diantaranya : siapa saja yang memegang bambu runcing itu dia tidak memiliki rasa takut terhadap musuh (tentara penjajah), musuh yang melihat bambu runcing tersebut menjadi kehilangan akal, jika bambu runcing yang telah diberi asma' itu dipegang, ia akan mengeluarkan api. Dan jika ada laki-laki yang melangkahi bambu runcing tersebut, kelaminnya menjadi membesar, dan pernah suatu ketika di daerah Boyolali, bambu runcing tersebut dilempar ditumpukkan pring (bambu biasa), dan pring tersebut terbakar.
Selain memberikan bambu runcing yang sudah di asma', Kyai Raden Sumomihardho juga memberikan senjata berupa ketapel kepada para pemuda pejuang. Batu kerikil yang akan digunakan terlebih dahulu diberi asma' dan setiap batu kerikil yang telah diberi asma'. Jika batu tersebut dipakaikan diketapel dan digunakan untuk menyerang musuh, maka musuh yang terkena oleh batu kerikil itu akan mati. Senjata terakhir yang diberikan kepada pemuda pejuang adalah berupa sujen (sejenis tusuk sate). Setelah sujen tersebut diberi asma', maka jika sujen itu ditanam pihak musuh tidak akan bisa melewati daerah tersebut. Jika sujen itu dilangkahi tikus, tikus itu bisa mati. Kyai Raden Sumomihardho adalah teman seperjuangan dari Cokro Aminorto dan beliau juga masih keluarga dari Bupati Magelang dan merupakan keturunan Wali Songo.
KH. Abbas, Cirebon
Nara Sumber :
KH. Abdullah Hamid Baidlowi, లసెం
(atas izin dari KH. Ayip Abdullah Abbas __Ahli waris dari KH. Abbas, Cirebon)
Pada bulan November 1945, Sekutu (Belanda masuk didalamnya) datang ke Indonesia dengan membawa armada yang besar, termasuk dengan pesawat tempur yang ditempatkan diatas kapal mereka. Belanda masuk kedalam pasukan sekutu bermaksud untuk kembali menjajah Bangsa Indonesia. Para ulama prihatin melihat kondisi ini. Akhirnya diadakanlah pertemuan ulama se Jawa - Madura , bertempat di pondok pesantren Tebu Ireng , Jombang. Musyawarah ulama dipimpin oleh KH. Hasyim Asyari. Dari musyawarah itu, lahirlah resolusi jihad yang isinya antara lain :
Para ulama sepakat bahwa para ulama dan umatnya berkewajiban untuk membantu pemerintah yang sah di bumi pertiwi, yaitu pemerintah Republik Indonesia.
Bagi umat Islam yang tempat tinggalnya dibawah 96 km dari kota Surabaya , mereka wajib untuk datang memerangi pasukan sekutu yang ada dikota Surabaya, sedangkan bagi umat Islam yang jarak rumahnya diatas 96 km dari kota Surabaya mereka tidak wajib datang ke Surabaya akan tetapi wajib membantu pasukan pejuang didaerah masing-masing.
Para ulama memberitakan kepada umat tentang fatwa jihad tersebut. Pada waktu itu, hubungan antara ulama dengan umatnya dekat sehingga tidak lama setelah pengumuman resolusi jihad itu, umat Islam datang berbondong-bondong ke Surabaya untuk berperang, bahkan banyak dari mereka yang berasal dari luar Jawa Timur. Bung Tomo sebagai pimpinan Perang melaporkan kepada para ulama bahwa perang dimulai pada tanggal 7 November. Para ulama menolak. Mereka meminta perang jangan dimulai sampai dengan KH. Abbas (Cirebon) dan KH. Baihaqi (Blitar) masuk Surabaya. Para ulama menjelaskan pada Bung Tomo
Bahwa KH. Abbas dan KH. Baihaqi bertugas untuk menghalangi serangan pasukan udara sekutu sedangkan para ulama yang lain bertugas melawan pasukan sekutu didarat. Pada waktu itu, Angkatan Udara Repulik Indonesia masih sangat lemah , bahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) belum lahir. Bung Tomo menyetujui permintaan para ulama. Perang ditunda . KH. Hasyim Asyari sebelumnya telah mengirim surat pada KH. Abbas (Cirebon) . Beliau diminta untuk turut serta dalam perang melawan sekutu di Surabaya. KH. Abbas dan KH. Baihaqi sampai di Kota Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Akhirnya pada hari itu juga perang dimulai. Para ulama mengijazahi Bung Tomo Kalimat Islamiyah untuk membuka perang yaitu : "Allahu Akbar (3X)". Jika pada waktu perang Badar, Allah menurunkan pertolonganNya berupa pasukan malaikat atas do'a Rasulullah SAW, maka pada waktu perang 10 November 1945, Allah menurunkan pertolonganNya atas do'a para ulama. Kaitannya dengan perang pada tanggal 10 November 1945, ada satu hal yang kontroversial, yaitu : tanggal 10 November setiap tahunnya diperingati sebagai hari pahlawan oleh bangsa Indonesia akan tetapi pelaku dari perang 10 November 1945 tersebut tidak mendapat gelar pahlawan Nasional (termasuk pimpinan perangnya sendiri, yaitu Bung Tomo, sampai saat ini tidak mendapat gelar Pahlawan Nasional). Hanya KH. Hasyim Asyari yang diberi gelar pahlawan Nasional. Para ulama tidak pernah mempermasalahkan hal ini karena mereka berperang mengusir penjajah dengan niat untuk mendapat ridho Allah bukan untuk dijadikan Pahlawan Nasional.
KH. Abdullah Hamid Baidlowi, లసెం
(atas izin dari KH. Ayip Abdullah Abbas __Ahli waris dari KH. Abbas, Cirebon)
Pada bulan November 1945, Sekutu (Belanda masuk didalamnya) datang ke Indonesia dengan membawa armada yang besar, termasuk dengan pesawat tempur yang ditempatkan diatas kapal mereka. Belanda masuk kedalam pasukan sekutu bermaksud untuk kembali menjajah Bangsa Indonesia. Para ulama prihatin melihat kondisi ini. Akhirnya diadakanlah pertemuan ulama se Jawa - Madura , bertempat di pondok pesantren Tebu Ireng , Jombang. Musyawarah ulama dipimpin oleh KH. Hasyim Asyari. Dari musyawarah itu, lahirlah resolusi jihad yang isinya antara lain :
Para ulama sepakat bahwa para ulama dan umatnya berkewajiban untuk membantu pemerintah yang sah di bumi pertiwi, yaitu pemerintah Republik Indonesia.
Bagi umat Islam yang tempat tinggalnya dibawah 96 km dari kota Surabaya , mereka wajib untuk datang memerangi pasukan sekutu yang ada dikota Surabaya, sedangkan bagi umat Islam yang jarak rumahnya diatas 96 km dari kota Surabaya mereka tidak wajib datang ke Surabaya akan tetapi wajib membantu pasukan pejuang didaerah masing-masing.
Para ulama memberitakan kepada umat tentang fatwa jihad tersebut. Pada waktu itu, hubungan antara ulama dengan umatnya dekat sehingga tidak lama setelah pengumuman resolusi jihad itu, umat Islam datang berbondong-bondong ke Surabaya untuk berperang, bahkan banyak dari mereka yang berasal dari luar Jawa Timur. Bung Tomo sebagai pimpinan Perang melaporkan kepada para ulama bahwa perang dimulai pada tanggal 7 November. Para ulama menolak. Mereka meminta perang jangan dimulai sampai dengan KH. Abbas (Cirebon) dan KH. Baihaqi (Blitar) masuk Surabaya. Para ulama menjelaskan pada Bung Tomo
Bahwa KH. Abbas dan KH. Baihaqi bertugas untuk menghalangi serangan pasukan udara sekutu sedangkan para ulama yang lain bertugas melawan pasukan sekutu didarat. Pada waktu itu, Angkatan Udara Repulik Indonesia masih sangat lemah , bahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) belum lahir. Bung Tomo menyetujui permintaan para ulama. Perang ditunda . KH. Hasyim Asyari sebelumnya telah mengirim surat pada KH. Abbas (Cirebon) . Beliau diminta untuk turut serta dalam perang melawan sekutu di Surabaya. KH. Abbas dan KH. Baihaqi sampai di Kota Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Akhirnya pada hari itu juga perang dimulai. Para ulama mengijazahi Bung Tomo Kalimat Islamiyah untuk membuka perang yaitu : "Allahu Akbar (3X)". Jika pada waktu perang Badar, Allah menurunkan pertolonganNya berupa pasukan malaikat atas do'a Rasulullah SAW, maka pada waktu perang 10 November 1945, Allah menurunkan pertolonganNya atas do'a para ulama. Kaitannya dengan perang pada tanggal 10 November 1945, ada satu hal yang kontroversial, yaitu : tanggal 10 November setiap tahunnya diperingati sebagai hari pahlawan oleh bangsa Indonesia akan tetapi pelaku dari perang 10 November 1945 tersebut tidak mendapat gelar pahlawan Nasional (termasuk pimpinan perangnya sendiri, yaitu Bung Tomo, sampai saat ini tidak mendapat gelar Pahlawan Nasional). Hanya KH. Hasyim Asyari yang diberi gelar pahlawan Nasional. Para ulama tidak pernah mempermasalahkan hal ini karena mereka berperang mengusir penjajah dengan niat untuk mendapat ridho Allah bukan untuk dijadikan Pahlawan Nasional.
K.H. HASYIM ASYARI JOMBANG
Narasumber :
Gus Riza Yusuf Hasyim, dan Gus Agus Muhammad Zaki, Jombang
(Cucu KH. Hasim Asyari)
Pondok Pesantren Tebu Ireng sebagai salah satu markas pasukan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia
Pada waktu terjadi perang kemerdekaan, semua orang yang akan pergi perang untuk mengusir penjajah, mereka semua dikumpulkan oleh KH. Hasyim Asyari di pondok pesantren Tebu Ireng. Mereka diberi minum air sambil membaca Ya Allah Ya Hafidh, Ya Allah Ya Muhith, Fanshurna 'ala qaumil kafiriin. Bagi orang-orang yang beliau kumpulkan tersebut, KH. Hasyim Asyari memberi beberapa pantangan yang tidak boleh mereka langgar selama berperang. Siapa saja yang melanggar pantangan tersebut, mereka pasti terkena tembakan musuh.
Para pejuang yang dikaruniai umur panjang oleh Allah selalu menceritakan kisah ini, termasuk salah seorang dari mereka yang bernama Pak Si'in.
Mengetahui kejadian ditempat yang jauh
Allah memberi kemampuan kepada KH. Hasyim Asyari untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat lain, meskipun tempat itu jauh, hal ini sama dengan kemampuan yang diberikan Allah kepada salah seorang sahabat Nabi, yaitu Umar, beliau dapat mengetahui apa yang sedang terjadi dengan pasukannya dan memberi perintah kepada pasukan tersebut dari atas mimbar. Ketika KH. Hasyim Asyari sedang memberi pengajian kepada para santri di pondok pesantren Tebu Ireng, pada saat yang sama, beliau dapat mengetahui pasukan pejuang yang beliau didik sedang berperang melawan musuh di daerah Pare, sebuah daerah yang jauhnya kira-kira 30 km dari pondok pesantren Tebu Ireng. KH. Hasyim Asyari di samping mampu melihat perang yang sedang berlangsung di daerah Pare tersebut, beliau pun juga memberi perintah kepada pasukan pejuang yang sedang berperang itu.
Penjajah tidah pernah berhasil menghacurkan pondok pesantren Tebu Ireng
Pesantren beliau berkali-kali di bom oleh pasukan penjajah, tapi bom itu tidak pernah meledak.
Memberi amalan kepada santri
Jika KH. Hasyim Asyari ingin memberi ‘amalan’ kepada santrinya, maka dipanggilnya 3 orang santri, dilihatnya dengan mata hatinya. Dengan mata hati, beliau memilih salah seorang dari ketiga santri tersebut yang benar-benar memiliki kemampuan untuk melaksanakan ‘amalan’ yang akan beliau berikan. Berikutnya, 2 orang santri yang tidak beliau pilih, mereka disuruh keluar dari ruangan tempat mereka dipanggil.
Kelebihan dari santri pondok pesantren Tebuireng
Pada waktu Jepang menjajah Indonesia, di daerah Jombang, juga terdapat tentara Jepang, jika tentara Jepang mendatangi pondok pesantren Tebu Ireng, kendaraan yang dipakai oleh tentara jepang tersebut tidak bisa berjalan jika bannya disentuh oleh para santri dari KH. Hasyim Asyari.
KH. Hasyim Asyari ditahan oleh penjajah
KH. Hasyim Asyari pernah di tahan oleh tentara Jepang. Jepang tidak menyukai KH. Hasyim Asyari karena KH. Hasyim Asyari mencela ibadah para tentara Jepang tersebut, yaitu setiap pagi para tentara Jepang wajib memberi penghormatan kepada matahari. Selama KH. Hasyim Asyari didalam tahanan, para santri beliau datang dan akhirnya pihak Jepang melepaskan beliau.
KH. Hasyim Asyari memimpin musyawarah para ulama dan mengeluarkan resolusi jihad
KH. Hasyim Asyari, disamping dikenal sebagai tokoh Islam dan pendiri NU, beliau juga dikenal sebagai pahlawan Nasional. Salah satu dari jasa beliau adalah mengenai peran serta beliau ketika terjadi perang kemerdekaan di Surabaya. Ketika itu, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad yang mewajibkan setiap orang Islam yang tempat tinggalnya berjarak dibawah 96 km dari Surabaya, mereka wajib datang ke Surabaya untuk berperang melawan penjajah. Akhirnya masyarakat Islam berbondong-bondong datang ke Surabaya dan tidak sedikit dari mereka datang dari daerah yang jauh . Meskipun tentara pejuang hanya menggunakan senjata seadanya tapi atas berkat do'a para ulama, Allah menurunkan pertolongannya sehingga tentara penjajah menderita kerugian besar pada saat perang tanggal 10 November yang kemudian diperingati sebagai hari Pahlawan oleh Bangsa Indonesia.
Gus Riza Yusuf Hasyim, dan Gus Agus Muhammad Zaki, Jombang
(Cucu KH. Hasim Asyari)
Pondok Pesantren Tebu Ireng sebagai salah satu markas pasukan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia
Pada waktu terjadi perang kemerdekaan, semua orang yang akan pergi perang untuk mengusir penjajah, mereka semua dikumpulkan oleh KH. Hasyim Asyari di pondok pesantren Tebu Ireng. Mereka diberi minum air sambil membaca Ya Allah Ya Hafidh, Ya Allah Ya Muhith, Fanshurna 'ala qaumil kafiriin. Bagi orang-orang yang beliau kumpulkan tersebut, KH. Hasyim Asyari memberi beberapa pantangan yang tidak boleh mereka langgar selama berperang. Siapa saja yang melanggar pantangan tersebut, mereka pasti terkena tembakan musuh.
Para pejuang yang dikaruniai umur panjang oleh Allah selalu menceritakan kisah ini, termasuk salah seorang dari mereka yang bernama Pak Si'in.
Mengetahui kejadian ditempat yang jauh
Allah memberi kemampuan kepada KH. Hasyim Asyari untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat lain, meskipun tempat itu jauh, hal ini sama dengan kemampuan yang diberikan Allah kepada salah seorang sahabat Nabi, yaitu Umar, beliau dapat mengetahui apa yang sedang terjadi dengan pasukannya dan memberi perintah kepada pasukan tersebut dari atas mimbar. Ketika KH. Hasyim Asyari sedang memberi pengajian kepada para santri di pondok pesantren Tebu Ireng, pada saat yang sama, beliau dapat mengetahui pasukan pejuang yang beliau didik sedang berperang melawan musuh di daerah Pare, sebuah daerah yang jauhnya kira-kira 30 km dari pondok pesantren Tebu Ireng. KH. Hasyim Asyari di samping mampu melihat perang yang sedang berlangsung di daerah Pare tersebut, beliau pun juga memberi perintah kepada pasukan pejuang yang sedang berperang itu.
Penjajah tidah pernah berhasil menghacurkan pondok pesantren Tebu Ireng
Pesantren beliau berkali-kali di bom oleh pasukan penjajah, tapi bom itu tidak pernah meledak.
Memberi amalan kepada santri
Jika KH. Hasyim Asyari ingin memberi ‘amalan’ kepada santrinya, maka dipanggilnya 3 orang santri, dilihatnya dengan mata hatinya. Dengan mata hati, beliau memilih salah seorang dari ketiga santri tersebut yang benar-benar memiliki kemampuan untuk melaksanakan ‘amalan’ yang akan beliau berikan. Berikutnya, 2 orang santri yang tidak beliau pilih, mereka disuruh keluar dari ruangan tempat mereka dipanggil.
Kelebihan dari santri pondok pesantren Tebuireng
Pada waktu Jepang menjajah Indonesia, di daerah Jombang, juga terdapat tentara Jepang, jika tentara Jepang mendatangi pondok pesantren Tebu Ireng, kendaraan yang dipakai oleh tentara jepang tersebut tidak bisa berjalan jika bannya disentuh oleh para santri dari KH. Hasyim Asyari.
KH. Hasyim Asyari ditahan oleh penjajah
KH. Hasyim Asyari pernah di tahan oleh tentara Jepang. Jepang tidak menyukai KH. Hasyim Asyari karena KH. Hasyim Asyari mencela ibadah para tentara Jepang tersebut, yaitu setiap pagi para tentara Jepang wajib memberi penghormatan kepada matahari. Selama KH. Hasyim Asyari didalam tahanan, para santri beliau datang dan akhirnya pihak Jepang melepaskan beliau.
KH. Hasyim Asyari memimpin musyawarah para ulama dan mengeluarkan resolusi jihad
KH. Hasyim Asyari, disamping dikenal sebagai tokoh Islam dan pendiri NU, beliau juga dikenal sebagai pahlawan Nasional. Salah satu dari jasa beliau adalah mengenai peran serta beliau ketika terjadi perang kemerdekaan di Surabaya. Ketika itu, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad yang mewajibkan setiap orang Islam yang tempat tinggalnya berjarak dibawah 96 km dari Surabaya, mereka wajib datang ke Surabaya untuk berperang melawan penjajah. Akhirnya masyarakat Islam berbondong-bondong datang ke Surabaya dan tidak sedikit dari mereka datang dari daerah yang jauh . Meskipun tentara pejuang hanya menggunakan senjata seadanya tapi atas berkat do'a para ulama, Allah menurunkan pertolongannya sehingga tentara penjajah menderita kerugian besar pada saat perang tanggal 10 November yang kemudian diperingati sebagai hari Pahlawan oleh Bangsa Indonesia.
KH. ZUBAIR, GRESIK (MUSTASYAR NU PERTAMA) , JAWA TIMUR
Nara Sumber
M. Chisni Umar Burhan
( Penasehat dan Ahli Waris Dokumen NU, Gresik, Jawa Timur).
Zubair kecil ikut Ayahnya berangkat Haji
KH. Zubair wafat pada tahun 1926. Beliau adalah mukhtasyar NU pada tahun 1924, yang diangkat langsung oleh KHM. Kholil, Bangkalan, Madura. Semasa hidupnya, beliau pernah menuntut ilmu di Mekah selama 30 tahun. Ketika berumur sekitar 5 tahun, ayah beliau pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, Zubair kecil dipondokkan dan ayah beliau berpesan kepada ulama yang menjadi Guru Zubair kecil agar Zubair jangan pulang ke Indonesia sebelum diizinkan oleh gurunya. Demikianlah latar belakang mengenai lamanya beliau menimba ilmu agama di Mekah. Pada suatu musim haji, ada seorang hartawan dari Gresik yang datang ke Mekah untuk memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu ia mendatangi guru dari KH. Zubair, ia sampaikan niatnya bahwa disamping ia datang ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, ia juga mempunyai niat agar bisa mendapatkan calon suami untuk anaknya yang tinggal di Indonesia (Gresik). KH. Zubair dipanggil oleh gurunya dan menanyakan apakah dia bersedia diajak pulang ke Indonesia (Gresik) dan selanjutnya menjadi menantu dari seorang jama'ah haji yang berasal dari Gresik (KH. Zubair sendiri berasal dari Demak-pen). KH. Zubair menyetujui apa yang disampaikan oleh gurunya tersebut. Setelah tiba di Gresik, disamping mengajarkan ilmu agama Allah pada keluarga beliau, KH. Zubair juga mendirikan pondok pesantren, dan sampai saat ini pondok pesantren tersebut masih terus dijadikan tempat menimba ilmu oleh masyarakat sekitarnya.
Berada di dua tempat pada waktu bersamaan
Pada suatu ketika, KH. Zubair diminta untuk menjadi khotib sholat jum'at pada waktu yang bersamaaan, yaitu: di masjid jamik Gresik dan di masjid Giri. Beliau ditolong Allah dalam memenuhi permintaan dari kedua pengurus masjid tersebut. Setelah sholat jum'at selesai dilaksanakan, para ja'maah dari kedua masjid merasakan adanya kejanggalan karena orang-orang yang melaksanakan sholat jum'at di masjid Gresik berkata bahwa yang menjadi imam dan khotib di tempatnya adalah KH. Zubair, demikian juga orang-orang yang melaksanakan sholat num'at di masjid Giri, mereka tidak percaya bahwa yang menjadi imam dan khotib di masjid jamik Gresik adalah KH. Zubair, mereka tahu sendiri bahwa di masjid Giri, yang menjadi imam dan khotib adalah KH. Zubair. Karena kedua belah pihak merasa sama-sama benar akhirnya mereka sowan ke tempat KH. Zubair dan menanyakan seputar kejadian yang mereka pertentangkan, KH. Zubair menjawab pertanyaan kedua belah pihak yang berselisih pendapat itu dengan tersenyum, dan dari cara menjawab KH. Zubair tersebut akhirnya masyarakat mengerti bahwa hal itu tidak usah diperdebatkan karena bagi Allah tidak ada yang mustahil, dan mereka pun percaya bahwa yang menjadi imam dan khotib di masjid jamik Gresik dan masjid Giri pada saat yang bersamaan adalah KH. Zubair.
Murid dari golongan jin-
Santri KH. Zubair tidak hanya dari golongan manusia, tetapijuga dari golongan jin.
Amalan:
KH. Zubair memberikan sodaqoh kepada para janda tua dan anak-anak yatim setiap hari. Ketika para janda tua dan para anak yatim membuka pintu mereka guna melaksanakan sholat shubuh di mushola ataupun di masjid, mereka selalu menemukan sejumlah uang di depan pintu rumah . Kejadian itu berlangsung sampai jarak sekitar 200 meter dari rumah kediaman KH. Zubair. Masyarakat saling bertanya siapakah yang menaruh uang tersebut, dan tidak ada yang pernah mengetahui siapakah orang dermawan itu, dan barulah setelah KH. Zubair wafat, para janda tua dan anak yatim yang hendak melaksanakan sholat shubuh, mereka tidak lagi menemukan uang di depan pintu-pintu mereka, dan saat itulah mereka meyakini bahwa ternyata orang dermawan yang menaruh uang di depan pintu-pintu mereka selama ini adalah KH. Zubair.
M. Chisni Umar Burhan
( Penasehat dan Ahli Waris Dokumen NU, Gresik, Jawa Timur).
Zubair kecil ikut Ayahnya berangkat Haji
KH. Zubair wafat pada tahun 1926. Beliau adalah mukhtasyar NU pada tahun 1924, yang diangkat langsung oleh KHM. Kholil, Bangkalan, Madura. Semasa hidupnya, beliau pernah menuntut ilmu di Mekah selama 30 tahun. Ketika berumur sekitar 5 tahun, ayah beliau pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, Zubair kecil dipondokkan dan ayah beliau berpesan kepada ulama yang menjadi Guru Zubair kecil agar Zubair jangan pulang ke Indonesia sebelum diizinkan oleh gurunya. Demikianlah latar belakang mengenai lamanya beliau menimba ilmu agama di Mekah. Pada suatu musim haji, ada seorang hartawan dari Gresik yang datang ke Mekah untuk memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu ia mendatangi guru dari KH. Zubair, ia sampaikan niatnya bahwa disamping ia datang ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, ia juga mempunyai niat agar bisa mendapatkan calon suami untuk anaknya yang tinggal di Indonesia (Gresik). KH. Zubair dipanggil oleh gurunya dan menanyakan apakah dia bersedia diajak pulang ke Indonesia (Gresik) dan selanjutnya menjadi menantu dari seorang jama'ah haji yang berasal dari Gresik (KH. Zubair sendiri berasal dari Demak-pen). KH. Zubair menyetujui apa yang disampaikan oleh gurunya tersebut. Setelah tiba di Gresik, disamping mengajarkan ilmu agama Allah pada keluarga beliau, KH. Zubair juga mendirikan pondok pesantren, dan sampai saat ini pondok pesantren tersebut masih terus dijadikan tempat menimba ilmu oleh masyarakat sekitarnya.
Berada di dua tempat pada waktu bersamaan
Pada suatu ketika, KH. Zubair diminta untuk menjadi khotib sholat jum'at pada waktu yang bersamaaan, yaitu: di masjid jamik Gresik dan di masjid Giri. Beliau ditolong Allah dalam memenuhi permintaan dari kedua pengurus masjid tersebut. Setelah sholat jum'at selesai dilaksanakan, para ja'maah dari kedua masjid merasakan adanya kejanggalan karena orang-orang yang melaksanakan sholat jum'at di masjid Gresik berkata bahwa yang menjadi imam dan khotib di tempatnya adalah KH. Zubair, demikian juga orang-orang yang melaksanakan sholat num'at di masjid Giri, mereka tidak percaya bahwa yang menjadi imam dan khotib di masjid jamik Gresik adalah KH. Zubair, mereka tahu sendiri bahwa di masjid Giri, yang menjadi imam dan khotib adalah KH. Zubair. Karena kedua belah pihak merasa sama-sama benar akhirnya mereka sowan ke tempat KH. Zubair dan menanyakan seputar kejadian yang mereka pertentangkan, KH. Zubair menjawab pertanyaan kedua belah pihak yang berselisih pendapat itu dengan tersenyum, dan dari cara menjawab KH. Zubair tersebut akhirnya masyarakat mengerti bahwa hal itu tidak usah diperdebatkan karena bagi Allah tidak ada yang mustahil, dan mereka pun percaya bahwa yang menjadi imam dan khotib di masjid jamik Gresik dan masjid Giri pada saat yang bersamaan adalah KH. Zubair.
Murid dari golongan jin-
Santri KH. Zubair tidak hanya dari golongan manusia, tetapijuga dari golongan jin.
Amalan:
KH. Zubair memberikan sodaqoh kepada para janda tua dan anak-anak yatim setiap hari. Ketika para janda tua dan para anak yatim membuka pintu mereka guna melaksanakan sholat shubuh di mushola ataupun di masjid, mereka selalu menemukan sejumlah uang di depan pintu rumah . Kejadian itu berlangsung sampai jarak sekitar 200 meter dari rumah kediaman KH. Zubair. Masyarakat saling bertanya siapakah yang menaruh uang tersebut, dan tidak ada yang pernah mengetahui siapakah orang dermawan itu, dan barulah setelah KH. Zubair wafat, para janda tua dan anak yatim yang hendak melaksanakan sholat shubuh, mereka tidak lagi menemukan uang di depan pintu-pintu mereka, dan saat itulah mereka meyakini bahwa ternyata orang dermawan yang menaruh uang di depan pintu-pintu mereka selama ini adalah KH. Zubair.
K.H MUHAMMAD KHOLIL (MBAH KHOLIL) BANGKALAN . MADURA
Narasumber :
KH. Imam Bukhori ( Pimpinan Pondok Pesantren Ibnu Kholil ), Bangkalan
(Dari buku Biografi K.H Muhammad Kholil)
Mengetahui Pikiran Kiai Noer
Ketika Kholil muda menyantri pada Kiai Noer di pesantren Langitan Tuban. Kholil seperti biasanya ikut jama'ah sholat yang memang keharusan para santri. Di tengah kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba kholil tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah. Demikian juga dengan Kiai Noer. Dengan kening berkerut, kiai bertanya:
"Kholil, kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu itu meengganggu kekhusukan sholat dan sholat kamu tidak syah?!" Kholil menjawab dengan tenang, "Maaf, begini Kiai, waktu sholat tadi saya sedang melihat Kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul, karena itu saya tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya lihat itu, kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan sopan.
Kiai Muhammad Noer terkejut. Kholil benar, Santri baru itu dapat membaca apa yang terlintas di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang sambil menerawang lurus ke depan, serta merta berbicara kepada santri kholil: "Kau benar anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya memang sedang lapar. Yang terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya nasi, anakku," ucap Kiai Muhammad Noer secara jujur. Sejak kejadian itu kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren Langitan, tetapi juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena itu, setiap kiai yang akan ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para kiai itu selalu mengistimewakannya.
Didatangi Macan
Pada suatu hari di bulan syawal, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. "Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok ini" kata Kiai Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus tidak seberapa tinggi bertubuh kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam "Assalamu'alauikum" ucapnya agak pelan dan sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukannya jawaban salam yang diterima, tetapi kiai malah berteriak memanggil santrinya, hei... santri semua, ada macan...macan...ayo kita kepung. Jangan sampai masuk pondok" seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Kiai, kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa saja yang ada, pedang, celurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya pemuda itu mencoba datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren langsung disong-song dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya, baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil datang dan membangunkannya, karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil, setelah berbasa-basi dengan seribu alasan, baru pemuda itu lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat dan pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Hasbullah dimana-mana selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang disyaratkan Kiai Kholil.
Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu satu-satunya angkutan yang menuju Makkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :
"Pak tolong, saya belikan anggur, saya ingin sekali" ucap istrinya dengan memelas.
"Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur". Jawab suaminya dengan bergegas keluar dari kapal.
Setelah suaminya keluar mencari anggur di sekitar anjungan kapal, nampaknya tidak ditemuai pedagang anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar. Untuk memenuhi permintaan istrinya tercinta. Dan, meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga, betapa gembiranya sang suami mendapatkan anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal laut untuk menemui istrinya. Namun betapa terkejutnya sesampai ke anjungan kapal. Pandangannya menerawang ke arah kapal yang akan ditumpangi. Semakin lama kapal tersebut semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasehat: "Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!" ucapnya dengan tenang.
"Kiai Kholil?" pikirnya.
"Siapa dia?, Apa ia mesti harus kesana, bisakah dia menolong ketertinggalan saya dari kapal?" begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
"Segeralah ke Kiai Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, Insyaallah." Lanjut orang itu menutup pembicaraan. Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya:
"Ada keperluan apa?"
Lalu, sang suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata :
"Lho...ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan, sana ... pergi".
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan, dia bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil. Orang tersebut bertanya: Bagaimana? Sudah ketemu Kiai Kholil?
"Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan." Katanya dengan nada putus asa.
"Kembali lagi, kembali lagi temui Kiai Kholil!" ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itu pun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap, "Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan".
"Terimakasih Kiai" kata sang suami melihat secercah harapan.
"Tapi ada syaratnya" ucap Kiai Kholil.
"Saya akan penuhi semua syaratnya." Jawab orang itu dengan bersungguh-sungguh.
Lalu Kiai berpesan : "Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampeyan ceritakan pada orang lain, kecuali saya sudah meninggal, apakah sampeyan sanggup?" pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
"Sanggup Kiai, "jawabnya spontan.
"Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu. Pejamkan matamu rapat-rapat" kata Kiai Kholil.
Lalu, sang suami melaksanakan perintah Kiai dengan patuh, setelah beberapa menit berlalu dibukanya matanya dengan pelan-pelan. Betapa terkejutnya ia melihat apa yang dihadapannya, ia sedang berada di atas kapal laut yang sedang berjalan. Takjub, heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Digosok-gosokkan matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segara ia ditemui isterinya di salah satu ruang kapal.
"Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali" dengan senyuman penuh arti seakan tidak terjadi apa-apa. Dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal, sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami, sekali dalam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadari bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
Membetulkan Arah Kiblat
Kiai Muntaha, mantu Kiai Kholil, yang terkenal alim itu membangun masjid di pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut hampir rampung. Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha membangun dengan rencana yang matang sesuai dengan tuntunan syariat. Begitu juga dengan tata letak dan posisi masjid yang tepat mengarah ke kiblat. Menurut Kiai Muntaha, masjid yang hampir rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga tinggal menunggu peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu hari, masjid yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai Kholil, menurut pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan dalam posisi kiblat.
"Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih belum tepat, ubahlah!" ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya yang alim itu. Sebagai seorang alim, sebagai kiai alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu saja. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar, melihat mantunya tidak ada-ada tanda-tanda menerima nasehatnya, Kiai Kholil tersenyum sambil berjalan ke arah masjid. Sementara Kiai Muntaha mengikuti di belakangnya. Sesampainya di ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
"Muntaha, coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu?" panggil Kiai Kholil sambil memperhatikan mantunya bergegas mendekatkan matanya ke lubang itu, betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu. Tak diduganya, lubang yang kecil itu ternyata Ka'bah yang berada di Makkah dapat dilihat dengan jelas dihadapannya. Kiai Muntaha tidak percaya, digosok-gosokan matanya dan dilihatnya sekali lagi lubang itu, dan ternyata Ka'bah yang di Makkah malah semakin jelas. Maka, sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar selama ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha mau mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang tadi.
Santri Mimpi Dengan Wanita
Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah. Dalam benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas. Tetapi disebabkan halangan junub, semalaman Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil , istri gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: "santri kurang ajar..., santri kurang ajar..."
Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid.
Seusai sholat subuh berjamaah Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?" ucap Kiai Kholil nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar, kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
"Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka kamu harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini," perintah Kiai Kholil (Petok adalah sejenis pisau kecil dipakai untuk menyabit rumput) . Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
"Alhamdulillah, sudah selesai Kiai," ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
"Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis," perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh dan gembira menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar menerima hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:
"Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri orang ini," ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar dan Kiai Kholil pun memintanya untuk pulang kampung halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang alim, yang memimpin sebuah pondok besar di Jawa Timur. Kiai yang beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
Kiai Kholil Masuk Penjara
Beberapa pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang bersembunyi itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin. Setelah yakin bersembunyi di pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren digrebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar, karena kejengkelannya akhirnya mereka membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap dengan ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri. Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil mulai muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus-menerus. Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus-menerus. Sebab, jika tidak maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang dari Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil. Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus-menerus. Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan banyak yang minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut-larut suasana akan semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar penjara kembali pulang kerumahnya masing-masing.
Residen Belanda
Suatu hari residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat suatu surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai residen di Bangkalan. Padahal, jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat. Residen ini sangat berbeda dengan residen Belanda lainnya. Hati nurani residen ini tidak pernah menyetujui adanya penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, residen Belanda yang bersimpati kepada Indonesia ini mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan. Kebetulan sang residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang residen segera pergi menemui orang yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu.
Maka, berangkatlah sang residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa koleganya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tahu siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap:
"Tuan selamat....selamat, selamat," ucapnya dengan senyum yang khas, Residen Belanda merasa puas dengan jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, sang residen menerima surat dari pemerintah Belanda yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak peristiwa itu, Kiai Kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati daerah terlarang di karesidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik residen maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai. Yang dianggap memiliki kesaktian yang luas biasa.
Santri Pencuri Pepaya
Pada suatu hari, seorang santri berjalan-jalan di sekitar pondok pesantren kedemangan. Kebetulan di dalam pesantren terdapat pohon pepaya yang buahnya sudah matang-matang kepunyaan kiai. Entah karena lapar atau pepaya sedemikian merangsang seleranya, santri itu nekad bermaksud mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa dirinya aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya. Kemudian dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu. Setelah cukup banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan.
Baru saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah diketahui oleh beberapa santri, tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Kiai marah besar kepada santri itu. Setelah itu disuruhnya dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok pesantren. Tak lama setelah kejadian itu , santri yang diusir karena mencuri pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim. Kealiman dan ketenaran kiai tersebut sampai kepada pesantren kedemangan. Mendengar berita menarik itu, beberapa santri ingin mengikuti jejaknya. Pada suatu hari, beberapa santri mencoba mencuri pepaya di pesantren. Dengan harapan agar dimarahi kiai. Begitu turun dari pohon pepaya. Kontan saja petugas santri memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Setelah melihat beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya itu, seraya Kiai mengucap :
"Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada pengusiran.
"Wah, celaka saya tidak bisa menjadi kiai," desah santri pencuri pepaya sambil menangis menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat berjamaah bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba beliau kedatangan tamu orang berbangsa Arab, orang Madura menyebutnya Habib.
Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang yang mengetahui kefasihan bahasa Arab. Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil berucap :
" Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih", tegur sang habib.
"O . . . begitu", jawab Kiai Kholil tenang.
Setelah berbasa-basi, beberapa saat, habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksakan sholat maghrib. "Tempat wudlu ada disebelah masjid itu. Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap Kiai sambil menunjukan arah tempat wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan Bahasa Arabnya yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun habib mengucapkan bahasa arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul , namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian ini, habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Tongkat Kiai Kholil dan Sumber Mata Air
Pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan kearah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan Kiai Kholil, memancar sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada.
Howang-Howing Jadi Kaya
Suatu hari, seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud untuk meminta pertolongan kepada Kiai Kholil agar bisa terkabul hajatnya.
"Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh Bun Fat dengan penuh harap.
Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil, tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya berucap :
"Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih..... sugih..... sugih.....", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Setelah mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.
Obat Aneh
Di daerah Bangkalan banyak terdapat binatang- binatang menyengat yang suka berkeliaran, termasuk kalajengking yang sangat ganas. Binatang ini akan bertambah banyak bilamana musim hujan tiba, apalagi di malam hari. Pada suatu malam, salah seorang warga Bangkalan disengat kalajengking. Bisa kalajengking membuat bengkak bagian- bagian tubuhnya. Beberapa pengobatan telah dilakukan namun hasilnya sia-sia. Ia hampir putus asa, sampai pada akhirnya, ada seseorang yang menyarankan agar pergi menemui Kiai Kholil.
Akhirnya diputuskan untuk menemui Kiai Kholil. "Kiai Kholil, saya disengat kala jengking. Tolong obati saya", ujarnya sambil memelas.
"Kesini!" kata Kiai Kholil.
Lalu dilihatnya bekas sengatan yang telah membengkak itu kemudian dipegangnya seraya berucap dengan dalam bahasa Madura : "Palak-Pokeh,.... palak-pokeh,....beres, beres", ucap Kiai Kholil sambil menepuk-nepuk bekas sengatan kalajengking. Maka seketika itu, orang itu sembuh, dan melihat hasil pengobatan dengan kesan lucu itu, orang yang menyaksikan di sekitarnya tidak dapat menahan tawanya. Mereka tertawa terpingkal-pingkal sambil meninggalkan ruangan itu (sumber informasi : KH. Amin Imron, cucu Kiai Kholil Bangkalan).
Rumah Miring
Pada suatu hari, Kiai Kholil mendapat undangan di pelosok Bangkalan . Hari jadi yang ditentukan pun tiba. Para undangan yang berasal dari berbagai daerah berdatangan. Semua tamu ditempatkan di ruang tamu yang cukup besar.
Walaupun para tamu sudah datang semua, acara nampaknya belum ada tanda-tanda dimulai. Menit demi menit berlalu beberapa orang tampaknya gelisah. Kenapa acara kok belum dimulai. Padahal, menurut jadwal mestinya sudah dimulai. Tuan rumah tampak mondar-mandir, gelisah. Sesekali melihat ke jalan sesekali menunduk. Tampaknya menunggu kehadiran seseorang.
Menunggu acara belum dimulai si fulan tidak sabar lagi. Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu berkata :
"Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum dimulai? Kata si jagoan sambil membentak.
Bersamaan dengan itu datang sebuah dokar, siapa lagi kalau bukan Kiai Kholil yang ditunggu-tunggu.
"Assalamu'alaikum", ucap Kiai Kholil sambil menginjakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah rumah besar itu.
Bersamaan dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah semua undangan yang hadir. Serta-merta rumah menjadi miring. Para undangan tercekam tidak berani menatap Kiai Kholil. Si fulan yang terkenal jagoan itu ketakutan, nyalinya menjadi kecil melihat kejadian yang selama hidup baru dialami saat itu.
Setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung kiai mengangkat kakinya. Seketika itu, rumah yang miring menjadi tegak seperti sedia kala. Maka berhamburanlah para undangan yang menyambut dan menyalami Kiai Kholil.
Akhirnya fulan yang jagoan itu menjadi sadar, bahwa dirinya kalah. Dirinya terlalu sombong sampai begitu meremehkan seorang ulama seperti Kiai Kholil. Fulan lalu menyongsong Kiai Kholil dan meminta maaf. Kiai Kholil memaafkan, bahkan mendoakan. Do'a Kiai Kholil terkabul, Fulan yang dulu seorang jagoan yang ditakuti di daerah itu, akhirnya menjadi seorang yang alim. Bahkan, kini si fulan menjadi panutan masyarakat daerah itu.
KH. Imam Bukhori ( Pimpinan Pondok Pesantren Ibnu Kholil ), Bangkalan
(Dari buku Biografi K.H Muhammad Kholil)
Mengetahui Pikiran Kiai Noer
Ketika Kholil muda menyantri pada Kiai Noer di pesantren Langitan Tuban. Kholil seperti biasanya ikut jama'ah sholat yang memang keharusan para santri. Di tengah kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba kholil tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah. Demikian juga dengan Kiai Noer. Dengan kening berkerut, kiai bertanya:
"Kholil, kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu itu meengganggu kekhusukan sholat dan sholat kamu tidak syah?!" Kholil menjawab dengan tenang, "Maaf, begini Kiai, waktu sholat tadi saya sedang melihat Kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul, karena itu saya tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya lihat itu, kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan sopan.
Kiai Muhammad Noer terkejut. Kholil benar, Santri baru itu dapat membaca apa yang terlintas di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang sambil menerawang lurus ke depan, serta merta berbicara kepada santri kholil: "Kau benar anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya memang sedang lapar. Yang terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya nasi, anakku," ucap Kiai Muhammad Noer secara jujur. Sejak kejadian itu kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren Langitan, tetapi juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena itu, setiap kiai yang akan ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para kiai itu selalu mengistimewakannya.
Didatangi Macan
Pada suatu hari di bulan syawal, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. "Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok ini" kata Kiai Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus tidak seberapa tinggi bertubuh kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam "Assalamu'alauikum" ucapnya agak pelan dan sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukannya jawaban salam yang diterima, tetapi kiai malah berteriak memanggil santrinya, hei... santri semua, ada macan...macan...ayo kita kepung. Jangan sampai masuk pondok" seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Kiai, kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa saja yang ada, pedang, celurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya pemuda itu mencoba datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren langsung disong-song dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya, baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil datang dan membangunkannya, karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil, setelah berbasa-basi dengan seribu alasan, baru pemuda itu lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat dan pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Hasbullah dimana-mana selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang disyaratkan Kiai Kholil.
Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu satu-satunya angkutan yang menuju Makkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :
"Pak tolong, saya belikan anggur, saya ingin sekali" ucap istrinya dengan memelas.
"Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur". Jawab suaminya dengan bergegas keluar dari kapal.
Setelah suaminya keluar mencari anggur di sekitar anjungan kapal, nampaknya tidak ditemuai pedagang anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar. Untuk memenuhi permintaan istrinya tercinta. Dan, meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga, betapa gembiranya sang suami mendapatkan anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal laut untuk menemui istrinya. Namun betapa terkejutnya sesampai ke anjungan kapal. Pandangannya menerawang ke arah kapal yang akan ditumpangi. Semakin lama kapal tersebut semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasehat: "Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!" ucapnya dengan tenang.
"Kiai Kholil?" pikirnya.
"Siapa dia?, Apa ia mesti harus kesana, bisakah dia menolong ketertinggalan saya dari kapal?" begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
"Segeralah ke Kiai Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, Insyaallah." Lanjut orang itu menutup pembicaraan. Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya:
"Ada keperluan apa?"
Lalu, sang suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata :
"Lho...ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan, sana ... pergi".
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan, dia bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil. Orang tersebut bertanya: Bagaimana? Sudah ketemu Kiai Kholil?
"Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan." Katanya dengan nada putus asa.
"Kembali lagi, kembali lagi temui Kiai Kholil!" ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itu pun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap, "Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan".
"Terimakasih Kiai" kata sang suami melihat secercah harapan.
"Tapi ada syaratnya" ucap Kiai Kholil.
"Saya akan penuhi semua syaratnya." Jawab orang itu dengan bersungguh-sungguh.
Lalu Kiai berpesan : "Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampeyan ceritakan pada orang lain, kecuali saya sudah meninggal, apakah sampeyan sanggup?" pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
"Sanggup Kiai, "jawabnya spontan.
"Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu. Pejamkan matamu rapat-rapat" kata Kiai Kholil.
Lalu, sang suami melaksanakan perintah Kiai dengan patuh, setelah beberapa menit berlalu dibukanya matanya dengan pelan-pelan. Betapa terkejutnya ia melihat apa yang dihadapannya, ia sedang berada di atas kapal laut yang sedang berjalan. Takjub, heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Digosok-gosokkan matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segara ia ditemui isterinya di salah satu ruang kapal.
"Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali" dengan senyuman penuh arti seakan tidak terjadi apa-apa. Dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal, sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami, sekali dalam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadari bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
Membetulkan Arah Kiblat
Kiai Muntaha, mantu Kiai Kholil, yang terkenal alim itu membangun masjid di pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut hampir rampung. Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha membangun dengan rencana yang matang sesuai dengan tuntunan syariat. Begitu juga dengan tata letak dan posisi masjid yang tepat mengarah ke kiblat. Menurut Kiai Muntaha, masjid yang hampir rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga tinggal menunggu peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu hari, masjid yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai Kholil, menurut pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan dalam posisi kiblat.
"Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih belum tepat, ubahlah!" ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya yang alim itu. Sebagai seorang alim, sebagai kiai alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu saja. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar, melihat mantunya tidak ada-ada tanda-tanda menerima nasehatnya, Kiai Kholil tersenyum sambil berjalan ke arah masjid. Sementara Kiai Muntaha mengikuti di belakangnya. Sesampainya di ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
"Muntaha, coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu?" panggil Kiai Kholil sambil memperhatikan mantunya bergegas mendekatkan matanya ke lubang itu, betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu. Tak diduganya, lubang yang kecil itu ternyata Ka'bah yang berada di Makkah dapat dilihat dengan jelas dihadapannya. Kiai Muntaha tidak percaya, digosok-gosokan matanya dan dilihatnya sekali lagi lubang itu, dan ternyata Ka'bah yang di Makkah malah semakin jelas. Maka, sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar selama ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha mau mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang tadi.
Santri Mimpi Dengan Wanita
Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah. Dalam benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas. Tetapi disebabkan halangan junub, semalaman Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil , istri gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: "santri kurang ajar..., santri kurang ajar..."
Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid.
Seusai sholat subuh berjamaah Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?" ucap Kiai Kholil nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar, kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
"Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka kamu harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini," perintah Kiai Kholil (Petok adalah sejenis pisau kecil dipakai untuk menyabit rumput) . Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
"Alhamdulillah, sudah selesai Kiai," ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
"Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis," perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh dan gembira menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar menerima hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:
"Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri orang ini," ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar dan Kiai Kholil pun memintanya untuk pulang kampung halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang alim, yang memimpin sebuah pondok besar di Jawa Timur. Kiai yang beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
Kiai Kholil Masuk Penjara
Beberapa pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang bersembunyi itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin. Setelah yakin bersembunyi di pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren digrebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar, karena kejengkelannya akhirnya mereka membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap dengan ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri. Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil mulai muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus-menerus. Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus-menerus. Sebab, jika tidak maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang dari Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil. Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus-menerus. Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan banyak yang minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut-larut suasana akan semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar penjara kembali pulang kerumahnya masing-masing.
Residen Belanda
Suatu hari residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat suatu surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai residen di Bangkalan. Padahal, jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat. Residen ini sangat berbeda dengan residen Belanda lainnya. Hati nurani residen ini tidak pernah menyetujui adanya penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, residen Belanda yang bersimpati kepada Indonesia ini mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan. Kebetulan sang residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang residen segera pergi menemui orang yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu.
Maka, berangkatlah sang residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa koleganya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tahu siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap:
"Tuan selamat....selamat, selamat," ucapnya dengan senyum yang khas, Residen Belanda merasa puas dengan jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, sang residen menerima surat dari pemerintah Belanda yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak peristiwa itu, Kiai Kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati daerah terlarang di karesidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik residen maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai. Yang dianggap memiliki kesaktian yang luas biasa.
Santri Pencuri Pepaya
Pada suatu hari, seorang santri berjalan-jalan di sekitar pondok pesantren kedemangan. Kebetulan di dalam pesantren terdapat pohon pepaya yang buahnya sudah matang-matang kepunyaan kiai. Entah karena lapar atau pepaya sedemikian merangsang seleranya, santri itu nekad bermaksud mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa dirinya aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya. Kemudian dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu. Setelah cukup banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan.
Baru saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah diketahui oleh beberapa santri, tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Kiai marah besar kepada santri itu. Setelah itu disuruhnya dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok pesantren. Tak lama setelah kejadian itu , santri yang diusir karena mencuri pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim. Kealiman dan ketenaran kiai tersebut sampai kepada pesantren kedemangan. Mendengar berita menarik itu, beberapa santri ingin mengikuti jejaknya. Pada suatu hari, beberapa santri mencoba mencuri pepaya di pesantren. Dengan harapan agar dimarahi kiai. Begitu turun dari pohon pepaya. Kontan saja petugas santri memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Setelah melihat beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya itu, seraya Kiai mengucap :
"Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada pengusiran.
"Wah, celaka saya tidak bisa menjadi kiai," desah santri pencuri pepaya sambil menangis menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat berjamaah bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba beliau kedatangan tamu orang berbangsa Arab, orang Madura menyebutnya Habib.
Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang yang mengetahui kefasihan bahasa Arab. Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil berucap :
" Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih", tegur sang habib.
"O . . . begitu", jawab Kiai Kholil tenang.
Setelah berbasa-basi, beberapa saat, habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksakan sholat maghrib. "Tempat wudlu ada disebelah masjid itu. Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap Kiai sambil menunjukan arah tempat wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan Bahasa Arabnya yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun habib mengucapkan bahasa arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul , namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian ini, habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Tongkat Kiai Kholil dan Sumber Mata Air
Pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan kearah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan Kiai Kholil, memancar sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada.
Howang-Howing Jadi Kaya
Suatu hari, seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud untuk meminta pertolongan kepada Kiai Kholil agar bisa terkabul hajatnya.
"Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh Bun Fat dengan penuh harap.
Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil, tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya berucap :
"Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih..... sugih..... sugih.....", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Setelah mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.
Obat Aneh
Di daerah Bangkalan banyak terdapat binatang- binatang menyengat yang suka berkeliaran, termasuk kalajengking yang sangat ganas. Binatang ini akan bertambah banyak bilamana musim hujan tiba, apalagi di malam hari. Pada suatu malam, salah seorang warga Bangkalan disengat kalajengking. Bisa kalajengking membuat bengkak bagian- bagian tubuhnya. Beberapa pengobatan telah dilakukan namun hasilnya sia-sia. Ia hampir putus asa, sampai pada akhirnya, ada seseorang yang menyarankan agar pergi menemui Kiai Kholil.
Akhirnya diputuskan untuk menemui Kiai Kholil. "Kiai Kholil, saya disengat kala jengking. Tolong obati saya", ujarnya sambil memelas.
"Kesini!" kata Kiai Kholil.
Lalu dilihatnya bekas sengatan yang telah membengkak itu kemudian dipegangnya seraya berucap dengan dalam bahasa Madura : "Palak-Pokeh,.... palak-pokeh,....beres, beres", ucap Kiai Kholil sambil menepuk-nepuk bekas sengatan kalajengking. Maka seketika itu, orang itu sembuh, dan melihat hasil pengobatan dengan kesan lucu itu, orang yang menyaksikan di sekitarnya tidak dapat menahan tawanya. Mereka tertawa terpingkal-pingkal sambil meninggalkan ruangan itu (sumber informasi : KH. Amin Imron, cucu Kiai Kholil Bangkalan).
Rumah Miring
Pada suatu hari, Kiai Kholil mendapat undangan di pelosok Bangkalan . Hari jadi yang ditentukan pun tiba. Para undangan yang berasal dari berbagai daerah berdatangan. Semua tamu ditempatkan di ruang tamu yang cukup besar.
Walaupun para tamu sudah datang semua, acara nampaknya belum ada tanda-tanda dimulai. Menit demi menit berlalu beberapa orang tampaknya gelisah. Kenapa acara kok belum dimulai. Padahal, menurut jadwal mestinya sudah dimulai. Tuan rumah tampak mondar-mandir, gelisah. Sesekali melihat ke jalan sesekali menunduk. Tampaknya menunggu kehadiran seseorang.
Menunggu acara belum dimulai si fulan tidak sabar lagi. Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu berkata :
"Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum dimulai? Kata si jagoan sambil membentak.
Bersamaan dengan itu datang sebuah dokar, siapa lagi kalau bukan Kiai Kholil yang ditunggu-tunggu.
"Assalamu'alaikum", ucap Kiai Kholil sambil menginjakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah rumah besar itu.
Bersamaan dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah semua undangan yang hadir. Serta-merta rumah menjadi miring. Para undangan tercekam tidak berani menatap Kiai Kholil. Si fulan yang terkenal jagoan itu ketakutan, nyalinya menjadi kecil melihat kejadian yang selama hidup baru dialami saat itu.
Setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung kiai mengangkat kakinya. Seketika itu, rumah yang miring menjadi tegak seperti sedia kala. Maka berhamburanlah para undangan yang menyambut dan menyalami Kiai Kholil.
Akhirnya fulan yang jagoan itu menjadi sadar, bahwa dirinya kalah. Dirinya terlalu sombong sampai begitu meremehkan seorang ulama seperti Kiai Kholil. Fulan lalu menyongsong Kiai Kholil dan meminta maaf. Kiai Kholil memaafkan, bahkan mendoakan. Do'a Kiai Kholil terkabul, Fulan yang dulu seorang jagoan yang ditakuti di daerah itu, akhirnya menjadi seorang yang alim. Bahkan, kini si fulan menjadi panutan masyarakat daerah itu.
Langganan:
Postingan (Atom)